Sabtu, 29 Oktober 2011

SECUIL HARAPAN



Cerita ini terinspirasi dari kegiatan perjalanan menggunakan kereta api Jakarta (Senen) - Jogja (Tugu)..

Libur Natal yang singkat & jadwal remendial memaksa saya untuk segera kembali ke Jogja lebih awal, padahal dari rencana sebelumnya saya baru akan kembali setelah menikmati malam Tahun Baru bersama keluarga dan teman" di Jakarta.

Tetapi topik cerita bukan membahas tentang kereta api atau pun jadwal remendial yang menyebalkan.

Sore itu, terlihat seorang nenek yang sudah renta duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga stasiun.

Bajunya kumal dan lusuh. Dia hanya diam, di depannya tidak ada kaleng atau wadah apapun untuk menaruh uang.

Bisa diartikan, dia tidak sedang meminta – minta. Walau begitu, ada saja orang yang menjejalkan uang ke tangan sang nenek, lalu nenek itu mengucapkan terima kasih.

Entah keinginan dari mana, saya menghampiri nenek tersebut. Sembari menunggu kereta, pikir saya. Saya berjongkok di sebelah nenek tersebut. Si nenek menyadari kehadiran saya dan berkata, : "Pulang kerja, Mas ?" sambil tersenyum.

Sekarang saya bisa lebih memperhatikan wajahnya. Tidak ada lagi rambut hitam di kepalanya, wajahnya penuh kerutan disana sini, matanya abu – abu seperti orang yang sudah tua lainnya.

Tetapi senyumnya hangat dan terlihat tulus. Saya mengangguk mengiyakan saja pertanyaan nenek tersebut. Lalu saya bertanya, "Nenek tinggal di sekitar sini ?".

Lagi – lagi nenek itu tersenyum dan menunjuk sebuah tempat di pinggiran kereta.

"Saya bukan tinggal tetapi tidur dan hidup disana"

Hati saya miris mendengar jawaban tersebut. Tempat itu bukan gubuk, apalagi sebuah rumah, melainkan hanya sebidang tempat yang disulap menjadi tempat tinggal oleh nenek tersebut.

Beralaskan koran, sebuah buntelan yang saya perkirakan isinya beberapa helai baju, sebuah piring dan sebuah gelas air mineral kosong. Lalu saya mulai bertanya hal lainnya : “Saya. Maaf Nek, Anaknya ada berapa ?”

Si Nenek : “Empat. 2 laki – laki, 2 perempuan”.

Saya : “Lalu dimana mereka ?” (Saya tahu lancang berkata seperti ini tetapi saya penasaran)

Si Nenek : “(Menggeleng) Saya tidak tahu. Saya dengar satu anak laki – laki saya masuk penjara dan saya tidak tahu kemana yang 3 lainnya”.

Saya : “Udah berapa lama Nenek nggak ketemu mereka ?”

Si Nenek : “(Menggeleng lagi) Lupa. Yang pasti sudah lama banget”.

Saya terdiam. Mencoba memikirkan sesuatu tetapi jelas saya tidak tahu apa yang saya pikirkan. Saya hanya… SEDIH !

Bagaimana bisa anak – anaknya membuang seorang ibu yang sudah melahirkan mereka dengan susah payah ke dunia ini? Terlebih lagi, lihat keadaan Nenek ini.

Saat saya asik berenang dalam pikiran saya, Nenek itu berkata, : "Saya tidak mau mengemis seperti ini tetapi saya butuh uang untuk makan"

"Biasanya Nenek makan apa ?" Dia pun menjawab, : "Lontong isi dan air putih, ya syukur – syukur kalau ada uang lebih, Nenek bisa beli nasi pakai tempe"

Saya meneguk ludah dengan susah payah, memposisikan diri saya di posisi Nenek itu ? Entahlah, pasti serasa kiamat. Nenek itu menambahkan, : "Kalau ada uang lebih, saya ingin membelikan baju lebaran untuk anak cucu saya"

Dia masih bisa memikirkan anak – anaknya yang telah meninggalkannya ? Tepat di seberang peron saya, ada sebuah keluarga. Ayahnya buta, ibunya menggendong anak yang paling kecil dan dua anak laki – lakinya duduk di peron tanpa alas apapun. Mereka terlihat bahagia, meski (maaf) miskin.

Saya merogoh kantong dan mengambil uang 20 ribu lalu menjejalkan ke tangan Nenek tersebut sembari berkata, : "Nenek harus makan ayam hari ini, kalau ada sisa bisa disimpan untuk beli baju lebaran cucu Nenek"

Lalu si nenek mengucapkan terima kasih. Sambil memasuki kereta, saya berpikir, Nenek itu saja masih menyimpan harapan untuk bisa bertemu dengan anak cucunya (bahkan berniat membelikan baju lebaran!) kenapa saya tidak bisa menyimpan secuil harapan juga akan adanya perubahan pada nasib ?

Always do the best, tomorrow must be better than today…

Good luck & may success always be with you…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

loading...