Kamis, 08 Desember 2011

Goresan Zhonghua Indonesia

Jalan Panjang Sejarah Tionghoa di Nanyang
1. Kedatangan Orang Zhonghua di Nanyang
Chinese overseas atau Cina Perantauan merupakan penduduk dunia keturunan Cina yang tersebar hampir di seluruh negara. Persebaran mereka hampir merata terutama di kawasan Asia Tenggara yang notabene dekat dengan daratan Cina. Sehingga kawasan Pecinan atau China Town menjadi hal yang akrab bagi kota-kota pusat bisnis di Asia Tenggara.
Suku bangsa Zhonghua di kawasan Asia Tenggara mayoritas berasal dari Cina Selatan seperti Hakka, Hainan, Hokkien (Fujian), Kantonis, Hokchia, Tiochiu, Guangdong, dan sebagainya. Dalam bahasa Mandarin mereka di sebut Tangren, karena mayoritas penduduk Cina Selatan adalah suku Tang. Gelombang imigrasi Zhonghua ke kawasan Nanyang semakin besar pada masa Dinasti
Mancu (Qing).[1]
Ada dua faktor yang menyebabkan suku Tang berimigrasi menuju Asia Tenggara, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong berupa adanya kekacauan, kemiskinan dan kepadatan penduduk di dataran Tiongkok yang mendorong mereka ingin meninggalkan tanah leluhurnya. Sedangkan faktor penarik berupa kolonisasi Barat di Asia Tenggara membuat wilayah tersebut membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengisi kekosongan pekerja dari penjajahan. Lowongan kerja dan kesempatan berimigrasi dari negeri Tiongkok inilah yang menarik etnis Tionghoa untuk menuju Nanyang.[2]
2. Tionghoa Indonesia
Keberadaan orang Tionghoa perantauan di Indonesia sudah terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno seperti Tarumanegara hingga Majapahit. Menurut catatan Fa hian abad ke-4, pada masa Airlangga dapat ditemukan banyak koloni Tionghoa yang hidup damai dengan masyarakat setempat di Pulau Jawa[3]. Perantau Tionghoa awal menyebut kawasan Asia Tenggara sebagai Nanyang, dimana menurut mereka kawasan yang menjanjikan selain Tiongkok daratan yang semakin penuh. Gelombang kedatangan orang Cina pada akhirnya membuat kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia mendapat daftar etnis baru yaitu Zhonghua (Tionghoa dalam dialek Hokkian ).
Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen dalam struktur masyarakatnya. Hingga saat ini orang Tionghoa di Nanyang termasuk di Indonesia terbagi dalam dua kategori tipe, pertama adalah Tionghoa Peranakan yang merupakan orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan sudah membaur baik darah atau budaya dengan pribumi setempat. Kedua Tionghoa ”totok”, Totok adalah Tionghoa pendatang baru yang pada umumnya masih baru sampai satu atau dua generasi, belum membaur dan masih membawa budaya dan bahasa Tionghoa dalam berbagai dialek. Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan memiliki tujuan hidup yang berbeda. Tionghoa totok dapat kembali ke negara China setelah mendapatkan nafkahnya, sedangkan kaum Tionghoa peranakan tidak mempunyai tempat yang lain tuju, sehingga mereka terpaksa harus mandiri dan bersahabat dengan orang Indonesia.(Leo Suryadinata 2002: 08-09)
3. Tionghoa pada Masa Kolonial
Kondisi Tionghoa pun turut berubah pasca kedatangan kolonial di sejumlah kawasan di Asia Tenggara, mereka bersama pribumi mengalami penjajahan selama ratusan tahun dan berdampak sosial hingga saat ini. Orang Tionghoa yang sudah nyaman hidup di Indonesia diusik oleh kedatangan bangsa Barat. Jan Pieterszoon Coen yang berhasil merebut Jayakarta pada 1619 berusaha mendekati warga Tionghoa Batavia demi kepentingan ekonomi dan politik mereka. Belanda mendekati beberapa tokoh Tionghoa Indonesia seperti Souw Beng Kong, pedagang yang dihormati masyarakat Tionghoa di kawasan Banten-Batavia. Lantas, untuk memberi kesan ada perlakuan baik pada Tionghoa, Belanda mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapitan Tionghoa.[4] Souw Beng Kong diangkat sebagai Kapitan pertama di Batavia, tugasnya dibantu seorang sekretaris beragama Islam Gouw Cay. Kedua pimpinan ini tidak diberi gaji tetapi diberi hak untuk menarik cukai dari pachter (pengelola rumah judi dan bordir) dan pedagang setempat.
Namun selanjutnya kekuasaan opsir Tionghoa yang penuh KKN dianggap melampaui batas bagi pemerintah Kolonial. Kekuasaan Kapitan dianggap terlalu menyulitkan kolonial seiring pesatnya jumlah Tionghoa. Jumlah orang Tionghoa hingga tahun 1735 mencapai puluhan ribu orang, dengan berbagai masalah bagi pemerintah kolonial. Ditengah keberhasilan orang Tionghoa, Belanda menaruh kecurigaan, sehingga disebarkan isu anti Tionghoa pada seluruh penduduk Hindia Belanda. VOC mulai mengadakan pembatasan keberadaan orang Tionghoa di Batavia. Gubernur Jenderal Adriaan Vackenier mengeluarkan peraturan Permissiebriefje atau surat ijin untuk Tionghoa.
4. Tragedi 1740
Pada tanggal 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi ”bunuh atau lenyapkan” oleh pemerintah kolonial. Resolusi ini memerintahkan untuk memberi hukuman yang tegas bagi Tionghoa yang tidak memiliki ijin untuk tinggal, berbisnis atau berorganisasi. Pada akhirnya, terjadi pembantaian keji hingga puluhan ribu orang Tionghoa Batavia. Mayat mereka di buang ke Kali Angke setelah ruko, rumah dan klenteng dibakar oleh Belanda bersama pribumi yang terprovokasi oleh Belanda. [5]
Gubernur Jenderal Valckenier dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan massal Tionghoa ini (chinezenmoord) kepada pemerintah pusat Belanda, Heeren XVII. Peristiwa pembunuhan Tionghoa Batavia mengakibatkan kerugian besar bukan saja bagi orang Tionghoa, tetapi juga mengancurkan perekonomian kota Batavia. Kondisi susah payah dibangun leluhur kompeni bersama-sama dengan orang Tionghoa selama ratusan tahun lebih hilang bersama banyaknya tokoh yang turut tewas dalam pembantaian.
Setelah kejadian tersebut orang Tionghoa yang selamat, tidak mau melakukan kegiatan apa pun. Mereka hanya berdiam di dalam rumah saja. Dengan sendirinya kegiatan ekonomi merosot tajam dan membuat Belanda merasa merugi. Belanda terus melakukan usaha seperti permintaan maaf, juga pada Kaisar Kian Liong di daratan Tiongkok dan membujuk agar orang Tionghoa kembali berusaha serta menempatkan mereka di suatu tempat yang mendapat penjagaan keamanan dari pasukan kompeni, salah satu dari tempat itu kemudian berkembang menjadi daerah di Jakarta yang bernama Glodok. (Williard Hanna, 1988 : 127-130).
Ada satu hal yang penting untuk dilihat dari peristiwa 1740, etnis Tionghoa perantauan dari dahulu tidak dapaat mengantungkan diri untuk pertolongan kepada motherland mereka di daratan Tiongkok. Kaisar Kian Liong malah berucap bahwa ihni merupakan salah satu hukuman atas Tionghoa di Batavia yang hanya mengejar kekayaan tanpa menengok kembali leluhur mereka di Tiongkok.
5. Perlakuan Baru untuk Tionghoa Indonesia
Peristiwa 1740 ini menjadi awal dari rangkaian peristiwa rasial anti Tionghoa yang berlangsung selama ratusan tahun, baik di jaman penjajahan Belanda, Jepang, maupun di Jaman Republik Indonesia (terakhir kasus 1998). Mulai saat itu diberlakukan beberapa peraturan bagi masyarakat Tionghoa di seluruh kawasan Hindia Belanda/ Indonesia pada masa itu. Beberapa peraturan tersebut diantaranya adalah (Leo Suryadinata, 2002: 73-76):
  • Pembatasan kewenangan Kapitan Cina, tugasnya hanya membawahi urusan kebudayaan, pemakaman, pendidikan, dan adat masyarakat Tionghoa. Untuk masalah ekonomi, sosal, politik diintervensi oleh pemerintah kolonial.
  • Pemberlakuan sistem Pemukiman (Wijkenstelsel), berhubungan erat dengan opsir Kapitan Tionghoa bahwa orang Tionghoa diurus oleh ketua opsir mereka dan diwajibkan untuk tinggal di daerah tertentu yang jauh dari ras lain. Wijkenstelsel, mengharuskan orang-orang Tionghoa bermukim ditempat yang sudah ditentukan (ghetto). Ghetto-ghetto inilah yang nantinya berkembang menjadi daerah yang disebut Pecinan dan diawasi oleh Wijkmeester (loh tia) semacam ketua RT.Orang Timur asing lainnya (Vreemde Oosterlingen) juga diperlakukan seperti ini.
  • Pemberlakuan Pas jalan (Passenstelsel) yang hanya membolehkan orang Timur Asing meninggalkan pemukiman tertentu pada waktu tertentu pula. Untuk dapat berpergi keluar dari kawasan Pecinan, mereka harus meminta ijin (passenstelsel) dari Belanda melalui Kapiten Tionghoa
  • Undang-undang Agraria tahun 1870  membuat orang Timur Asing / Tionghoa dilarang bergerak di bidang pertanian , sehingga semua orang Timur Asing hanya terkosentrasi pada bidang perdagangan.
6. ”Anak Emas” bagi Pemerintah Kolonial
            6.1 Ekonomi untuk Tionghoa
            Pasca diberlakukan berbagai aturan untuk Tionghoa, pemerintah kolonial menjadi semakin mengistimewakan orang Tionghoa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan hanya orang Tionghoa yang dianggap kooperatif dan menguntungkan pemerintah kolonial dalam segi kehidupan.
Orang-orang Tionghoa mayoritas menjadi pengumpul pajak, pedagang, pengelola lahan sewaan, dan mulai mengatur hidup orang Jawa setelah perintah langung dari Kerajaan-kerajaan setempat. Di sinilah mulai tumbuh ”rasa benci ” orang-orang Jawa. Belanda bahkan sampai mengizinkan Tionghoa mempunyai hak prerogatif untuk membuat uang picis, yaitu uang yang terbuat dari timah hitam yang dipakai Tionghoa hingga abad-18 sebagai ganti uang VOC yang terbuat dari tembaga. Uang picis merupakan suatu bentuk pengendali pasar bagi Tionghoa kaya untuk mengatur perdagangan dan kestabilan harga di masyarakat Jawa, Sumatera dan berlaku di Hindia Belanda/ Indonesia pada umumnya.
                       6.2 Sosial, Pendidikan, Budaya untuk Tionghoa
Pada saat yang sama pemerintah kolonial juga menyetujui pendirian Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada 17 Maret 1900. THHK merupakan organisasi Tionghoa yang membawahi pengembangan ajaran khonghucu, reformasi budaya pemborosan pada pemakaman dan pernikahan, selanjutnya berkembang ke ilmu pengetahuan berupa pendirian sekolah. Bidang pendidikan THHK mendirikan perkumpulan bidang kematian (Siauw Siang), perkumpulan membaca (Soe Po Sia), perkumpulan olahraga (Tiong Hoa Oen Tong Hwe) dan perkumpulan debat (Lie Loen Hwe). Kemajuan THHK dalam mendirikan ratusan sekolah berbasis Tionghoa di Jawa menimbulkan kecurigaan pemerintah Hindia Belanda, karena dikhawatirkan sekolah THHK yang berkiblat ke Tiongkok akan menimbulkan gerakan kaum peranakan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. [6]
Untuk menyaingi keberadaan THHK, L.H.W. van Sandick dan P.H Fromberg menyarankan melakukan pendirian sekolah Belanda bagi Tionghoa untuk meredam penanaman bibit pemberontak. Sehingga pada tahun 1908 Belanda oleh Gubernur Jenderal J.B van Heutsz mendirikan sekolah yang menerapkan sistem pendidikan barat dengan bahasa pengantar Belanda dengan nama Hollandsch Chineesche School atau HCS.
                     6.3 Perebutan ”Hak Asuh ”
Pada tahun 1909 pemerintah Tiongkok mengeluarkan undang-undang Kebangsaan yng menyatakan bahwa seluruh keturunan Tionghoa di seluruh dunia adalah bekebangsaan Tiongkok. Hal ini membuat pemerintah kolonial gerah untuk mempertahankan anak asuh kesayangan mereka, yaitu Tionghoa. Untuk menandinginya, pemerintah Belanda mengumumkan ”Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap” (WNO) atau Undang-undang Kawula Belanda yang menyatakan bahwa seluruh Tionghoa yang telah menjadi keturunan kedua yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula Belanda.
7. Tionghoa Pasca Kolonial Belanda
Sebenarnya segelintir tokoh Tionghoa sudah berpikir untuk melawan Belanda. Perlakuan khusus hanya di berikan kepada pedagang kaya Tionghoa, sedangkan Tionghoa yang miskin makin tergeser sengsara bersama bumiputera lainnya. Pada Pemerintahan singkat Jepang, jurang pemisah antara Tionghoa kaya-Tionghoa miskin-dan Pribumi makin lebar. Pada masa kolonial di Indonesia terdapat perlakuan khusus bagi warga Tionghoa kaya, namun menyingkirkan yang miskin/ cina beteng.
Saat itu kehidupan sosio politik warga Tionghoa mulai terbagi dalam tiga kategori saat itu. Pertama, kelompok Sin Po yang masih berorientasi pada kepentingan Tiongkok daratan. Kedua, Tionghoa yang kehidupan sosio politiknya berorientasi kepada Hindia Belanda ( Chung Hwa Hui ), dimana kehidupan mereka dekat Belandan dan dilindungi oleh Belanda. Ketiga, adalah Tionghoa yang merasa bagian dari pribumi dimana mereka turut menuntut kemerdekaan dengan bumiputera lainnya ( Partai Tionghoa Indonesia).
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, golongan yang pro Hindia Belanda (Chung Hwa Hui) ditekan habis-habisan. Golongan Sin po yang berorientasi ke China daratan tetap langgeng, sedang golongan yang pro Indonesia dibiarkan tetap.
8. Tionghoa Indonesia Saat ini
Perlakuan-perlakuan yang ”berbeda” terhadap masyarakat Tionghoa selama ratusan tahun yang lalu, turut membuat cara berpikir mereka berbeda pula. Pribumi Indonesia sudah diajarkan skeptis dan menaruh curiga pada keberadaan Tionghoa di Indonesia. Buktinya, berkat isu adu domba Gubernur Jenderal Valckenier membuat banyak pribumi turut ambil bagian dari pesta ’penyembelihan’ etnis Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Sehingga dapat dikatakan selama 300 tahun lebih pemisahan Tionghoa dengan Pribumi oleh pemerintah kolonial turut membuat jarak yang kini berkembang di masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Indonesia lainnya. Dinamika jalan yang berliku turut mengubah watak Tionghoa Indonesia kini, diantaranya adalah
Pertama, saat pemerintahan orde baru semua hal yang berbau Tionghoa mulai diberantas dan dilarang keras digunakan di Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam No 14 Tahun 1967 yang menyatakan adat istiadat orang Cina dilarang dipertontonkan di depan umum. Mereka yang mempunyai nama Tionghoa diwajibkan untuk mengganti namanya menjadi nama Indonesia atau nama barat. Salah satunya adalah evolusi besar-besaran marga Tionghoa menjadi marga yang ”dilokalkan”. Misalnya Salim untuk Liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei, Tano atau Tanzil untuk Tan, Chandra untuk Chan, Kusuma untuk Khoe, dsb. Setelah masa ”Namanisasi” oleh pemerintah orde baru ini, banyak nama marga baru bermunculan dan mereka yang kristiani gemar menggunakan nama Baptis yang paling berbau barat.
Kedua, Leluhur Tionghoa Indonesia sudah mendapat perlakuan pendidikan yang berbeda sejak ratusan tahun yang lalu oleh pemerintah kolonial. Perlakuan tersebut kadang lebih istimewa (apabila kaya) di banding warga timur asing dan bumiputera lainnya. Generasi tua Tionghoa Indonesia sudah terbiasa bersekolah terpisah dari pribumi Indonesia. Hal tersebut terjadi hingga pasca kemerdekaan dan terindikasi bahkan hingga sekarang, terlihat dari banyaknya sekolah swasta bermurid Tionghoa saat ini. Sekolah tersebut memang tidak mengkhususkan diri ’hanya’ untuk Tionghoa saja, namun karena mayoritas dan kurikulum budayanya menyertakan kebudayaan Tionghoa membuat eksklusifitas terjadi.  Dari sinilah muncul istilah ”sekolah Cina” di masyarakat Indonesia. Padahal hal seperti ini tidak terjadi pada keturunan Tionghoa di Malaysia dan Singapura, mereka sangat berbaur dengan warga keturunan Melayu, India dan Arab dalam satu institusi pendidikan yang sama.
Ketiga, selain pendidikan Tionghoa yang terpengaruh warisan kolonial, hal yang paling melekat dari masyarakat Tionghoa Indonesia saat ini adalah image berbisnis. Masyarakat Indonesia kini terbiasa melihat mereka sebagai pedagang dan cukong (juragan dalam bahasa hokkian) yang saat ini tidak hanya tersebar pada kawasan Pecinan saja, namun menyeluruh ke pusat kota di seluruh negeri. Beberapa hal yang menyebabkan Tionghoa Indonesia kuat dalam berdagang adalah :
  1. Kedatangan Zhonghua selatan ke Indonesia mayoritas untuk berdagang, sehingga bisa dibilang ratusan tahun yang lalu berbisnis akrab di darah Tionghoa Nanyang.
  2. Sejak Indonesia dikuasai kolonial, penerapan peraturan kolonial cenderung memberi tempat bagi Tionghoa menjadi pedagang perantara, pengumpul pajak, penjual candu, pembuka rumah bordir dan berbagai hal dalam aspek ekonomi lainnya.
  3. Sudah ada perkumpulan dan pembentukan jaringan sesama pedagang peranakan Tionghoa berdasar klan marga sejak jaman kerajaan kuno dulu. Misalnya adalah paguyuban bisnis marga Oey, Tan, Liem, dsb yang kini semakin akrab di koran nasional apabila ada ’berita lelayu’, disitulah terlihat jaringan yang mereka bangun kuat bahkan untuk melegitimasikan kartel harga yang semakin kuat pula.
  4. Bangunan pencakar langit ekonomi Tionghoa semakin tak tertandingi pada masa orde baru. Pemerintahan Soeharto memang memberi tempat seluas-luasnya bagi peranakan Tionghoa untuk membuka bisnis. Hal ini sebagai bagian antisipasi orde baru membendung kekuatan Tionghoa yang terkenal pandai untuk dapat masuk pada ranah politik dan pemerintahan.
  5. Hingga kini jarang sekali dijumpai pegawai pemerintahan, PNS atau pejabat pemerintah yang berdarah Tionghoa peranakan. Pembatasan pada ranah politik sejak masa kolonial membuat banyak warga Tionghoa enggan untuk msauk pada politik dan lebih memilih meneruskan usaha bisnis leluhur mereka. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan hanya sebagai politikus ekstra parlementariat saja.
Keempat, dalam bidang kebudayaan, Tionghoa Indonesia baru akhir-akhir ini saja berani mempertontonkan pelestarian budaya Tionghoa sejak peraturan orba No 14 Tahun 1967 dihapus, dan digantikan  dengan Keppres No. 6 Tahun 2000 pada masa Gusdur. Namun, kebijakan tersebut sangat dapat dikatakan telat bagi generasi Tionghoa saat ini, dimana kaum muda Tionghoa kini menjadi sangat pribumi dan kebaratan. Ajaran Tao dan Konghucu menjadi sangat jarang dianut karena sudah jalan beberapa generasi berubah menjadi Kristiani, Islam dan Budha sesuai ketentuan waktu itu.
Kelima, keeksklusifan yang mereka pertontonkan hingga saat ini sebenarnya tidak tanpa alasan. Sifat yang berkembang merupakan akumulasi ketakutan, kecemasan hidup kaum peranakan terhadap ancaman diskriminasi yang terjadi lagi. Sejak pembantaian pertama 1740, terjadi kerusuhan terhadap etnis Tionghoa seperti pembantaian massal 1946-1948, persitiwa 17 oktober 1952, Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963, Malari, dan terakhir dan paling menyakitkan adalah peristiwa 1998. Dapat dikatakan peristiwa 1998 yang terkosentrasi di Jakarta, Solo dan menyebar ke sebagian Nusantara belum seluruhnya trauma dapat hilang di benak kaum peranakan Tionghoa Indonesia. Kecemasan mereka tergambar dalam tindakan, inilah yang sebenarnya harus dapat kita pahami dari Sosiologi, bahwa disetiap tindakan pasti ada latar belakang yang mengawalinya. Beberapa indikasinya dapat dilihat seperti :
  1. Bentuk rumah-rumah etnis Tionghoa Indonesia terlihat sangat tertutup, berpagar tinggi, bercat lama, tanpa hiasan dan nampak seperti rumah kosong jika dilihat dari luar. Walaupun rumah dan ruko mereka terbilang megah dan sangat besar namun akan tampak kotor didepannya dengan tambahan pintu yang selalu terkunci. Alasan yang sering muncul, adalah mereka tidak ingin memancing aksi kriminal lagi terhadap mereka.
  2. Menganilisis kehidupan sosial Tionghoa dapat dilihat dari tindakan dan interaksi yang dilakukan generasi mereka saat ini. Generasi muda Tionghoa sekarang cenderung menonjolkan dua sisi yang berbeda untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat tentang keberadaan mereka. Pertama, Tionghoa Cerdas, pada sisi ini muncul ilmuwan, pemikir dan pemenang olimpiade yang akhirnya mendapat penghargaan positif. Kedua, generasi Tionghoa Hedonis, pada sisi ini mereka ingin menonjolkan status dan kelas mereka lewat life style, rambut pirang, kulit putih mulus, teknologi mahal, pakaian seksi nan mahal, dan mobil mewah. Pada akhirnya sisi ini menonjolkan sisi negatif yang berkembang pada mereka.
  3. Dahulu pemuda-pemudi peranakan Tionghoa Indonesia hanya mau bermain dengan sesama etnis mereka. Generasi terdahulu mereka mendidik mereka demikian karena perlakuan rasialis “mungkin hingga kini” masih terjadi pada mereka. Lihatlah panggilan sarkastik dalam bahasa pergaulan seperti “ Cina Lu”, “Dasar Singkek”, “Sipit”, dll yang membuat mereka tidak nyaman dan sakit hati. Namun dewasa ini perlakuan tersebut hanya dianggap sebagai lelucon bagi kaum muda Tionghoa yang tidak perduli dan ingin mulai berbaur bebas.
Terlepas dari semua kondisi yang ada, warga keturunan Zhonghua/ Tionghoa yang menetap di Nusantara merupakan warisan bagi keberagaman etnis dan suku di Indonesia. Keberadaan mereka merupakan sejarah leluhur bagi masyarakat Indonesia, seperti halnya sejarah leluhur pada keturunan India, Gujarat, dan Arab yang terus melebur menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Perlakuan diskriminatif sejak jaman kolonial hingga saat inilah yang membuat warga Tionghoa enggan membaur bebas di Indonesia. Walaupun pada akhirnya perlakuan rasial tersebut juga disebabkan akan sifat eksklusif Tionghoa sendiri kepada masyarakat non-Tionghoa. Nampaknya, masyarakat Indonesia harus meningkatkan belajar saling menghargai dan memahami untuk terciptanya rasa persaudaraan dalam kebersamaan membangun negeri. Persatuan dan persaudaraan kuatlah yang mampu mewujudkan masyarakat Indonesia jaya di kawasan Nanyang dan seluruh belahan bumi ini.
Daftar Pustaka
Cushman, Jennifer Wang. 1991. Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta : Pustaka Utama Grafitti.
Hanna, Williard. 1988. Hikayat Jakarta. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Pan, Lynn. 1998. The Encyclopedia of Chinese Overseas. Landmark : Archipelago Press
Remmelink, Willem. 1994. The Chinese War and The Collapse of the Javanese State, 1725-1743. Leiden, Holland. KITLV Press
Setiono, G Benny. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta : Penerbit Elkasa
Suryadinata, Leo .1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES.
Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta : Grha Budaya.
Zhi, Prof. Khong Yuan. 2000. Muslim Tionghoa Chengho : Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta : Pustaka Populer Obor

[1] Lynn Pan. 1998. The Encyclopedia of Chinese Overseas. Landmark : Archipelago Press. Halaman 48-49 tentang asal-usul leluhur orang keturunan Zhonghua kawasan Asia Tenggara.
[2] Nanyang adalah istilah orang Tionghoa yang berarti Samudera Selatan. Istilah Nanyang sering di pakai orang Tionghoa untuk menyebut daerah Asia Tenggara pada masa lalu dan hingga sekarang. Oleh sebab itu, Singapura yang notabene berpenduduk 60 % warga Tionghoa mendirikan Universitas terkenal yaitu Nanyang University. Dari Prof. Khong Yuan Zhi. 2000. Muslim Tionghoa Chengho : Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Halaman 9-10 tentang kedatangan orang Zhonghua selatan di kawasan Nanyang dengan membawa budaya, ekonomi, bahkan agama ( Islam dan Konghucu)
[3] Toer, Pramoedya Ananta. Hoakiau di Indonesia. 1960. dicetak ulang oleh Grha Budaya.1998. Halaman 206-211 tentang catatan kedatangan Tionghoa dengan damai di bumi Jawa pada masa kerajaan.
[4] Kapitan Cina/ Tionghoa adalah kebijakan pemerintah kolonial untuk masyarakat Tionghoa, dengan menujuk salah seorang tokoh terpandang dari etnis Tionghoa sebagai kapitan.  Sistem ini merupakan opsir/ chinese Officieren . Kapitan Tionghoa bertugas di Kongkoan atau Dewan Tionghoa yang mengurus segala kepentingan Tionghoa dalam adat budaya, ekonomi, termasuk penghubung kepentingan pemerintah kolonial. ( Benny G. Setiono, 2003 Halaman 92-102)
[5] Remmelink, Willem. 1994. The Chinese War and The Collapse of the Javanese State, 1725-1743.Leiden,Holland. KITLV Press. Halaman 126-127. Tentang isu  rasial VOC untuk membuat pribumi dan para budak benci terhadap keberadaan Tionghoa Batavia, yang pada akhirnya berbuntut “Pembantaian 1740”.
[6] Cushman, Jennifer Wang. 1991. Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta : Pustaka Utama Grafitti. Bab 2 tentang perkembangan pendidikan Tionghoa Indonesia dalam Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang turut mengubah pandangan politik menjadi golongan Sin Po (condong ke Tiongkok), golongan Chung Hwa Hui (condong ke kolonial) dan masuk pada golongan bumiputera. Sebuah prakondisi yang mengubah identitas orang Indonesia asal Cina.

Sumber : Kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

loading...